Ribuan Petani Terusir dan Tergusur di Cianjur, Kini Perjuangkan Keadilan ke Kementrian ATR/BPN
Komentar

Ribuan Petani Terusir dan Tergusur di Cianjur, Kini Perjuangkan Keadilan ke Kementrian ATR/BPN

Komentar

Terkini.id, Jakarta- Ribuan petani diusir dari tanah garapan oleh ratusan preman dengan intimidasi dan ancaman senjata, wanita dan anak-anak trauma sekolah tak terurus.

Wajah-wajah wanita dan anak-anak petani Cianjur tampak menunjukkan kesedihan dan trauma mendalam, ketika dijumpai  di Komnas HAM Jalan Latuharhary Jakarta Pusat, Senin, 31 Agustus 2020, lalu.

Mereka adalah puluhan dari ribuan keluarga petani penggarap lahan di Cianjur, Jawa Barat, yang telah 4 (empat) hari terlunta-lunta akibat terusir dari lahan garapan sekaligus kampung tempat mereka tinggal. Para petani itu mengadu ke Komnas HAM didampingi kuasa hukum H. Muhammad Sirot, S.H, S.I.P.

Kini, Senin 26 Oktober 2020 mereka kembali memperjuangkan nasib dan keadilannya di bawah guyuran hujan depan Kantor Kementerian ATR/BPN.

Ribuan Petani Terusir dan Tergusur di Cianjur, Kini Perjuangkan Keadilan ke Kementrian ATR/BPN
Sirot saat memberikan keterangan kepada wartawan. Foto: Arman/Jakarta terkini.id.

Sebanyak lebih dari 2000 petani penggarap lahan diusir dari lahan dan tempat tinggalnya setelah diintimidasi oleh sekelompok orang (preman, red) berjumlah ratusan, bahkan saksi mata dan para korban pengusiran juga mengatakan ada juga oknum aparat bersenjata. Sehingga selain kehilangan mata pencaharian karena lahan garapan dibuldoser dan tempat tinggal yang dirobohkan dengan alat berat, anak-anak juga terganggu dan tak terurus proses belajarnya.

Baca Juga

Proses pengosongan lahan dan permukiman para petani, mulanya dengan dijaga aparat keamanan, dan para petani dikeluarkan dari lahan tersebut, setelah selesai pengosongan, jalan akses satu-satunya ditembok dan aliran listrik serta air diputus. Setelah itu, ketika para petani masih berada di luar lahan garapan dan permukiman mereka, didatangkanlah ratusan preman yang kemudian menduduki lahan dengan bersenjata, sambil mengawal melanjutkan penghancuran lahan pertanian hortikultura serta merobohkan tempat tinggal para petani.

Sebagaimana diketahui, pengambangan tanaman pertanian hortikultura di lahan ini diinisiasi bupati Cianjur usai mendapat kepastian hukum mengenai status lahan tersebut yang oleh BPN dinyatakan telah ditelantarkan oleh pemegang HGU.

Ribuan Petani Terusir dan Tergusur di Cianjur, Kini Perjuangkan Keadilan ke Kementrian ATR/BPN
Para Penggarap tanah berunjuk rasa di depan gedung Kementrian ATR/BPN. Foto: Arman/Jakarta.terkini.

Para petani penggarap itu berasal dari tiga desa yakni  Desa Batulawang (Kecamatan Cipanas), Desa Sukanagalih (Kecamatan Pacet), Desa Cibadak (Kecamatan Sukaresmi),  di wilayah Kabupaten Cianjur.

Intimidasi itu, menurut keterangan para petani diduga adalah atas perintah PT. Maskapai Perkebunan Moelia (MPM).
Menurut keterangan Pengacara/ kuasa hukum para petani, H.Muhammad  Sirot, S.H, S.I.P dengan telah ditelantarkannya dan tidak digarapnya lahan HGU Nomor 12 s/d 26 milik PT Maskapai Perkebunan Moelia, maka pihak Kanwil BPN Jawa Barat telah memberikan tiga kali Surat Peringatan kepada PT MPM.

“Namun peringatan tersebut tidak diindahkan,” ujar Muhammad Sirot.

Dengan telah diberikannya tiga kali Surat Peringatan kepada PT. MPM sebagai pemegang/pemilik HGU Nomor 12 s/d 26 yang terletak di Desa Batulawang Kecamatan Cipanas, Desa Sukanagalih Kecamatan Pacet, Desa Cibadak Kecamatan Sukaresmi Kabupaten Cianjur maka oleh pihak Kantor Pertanahan Kabupaten Cianjur dan Kanwil BPN Jawa Barat telah diusulkan kepada Menteri ATR/ BPN RI sebagai tanah terlantar.

“Tanah HGU PT Maskapai Perkebunan Moelia tersebut pada tanggal 5 Desember 2018 oleh Kanwil Pertanahan Nasional Provinsi Jawa Barat sudah dinyatakan dalam keadaan status quo sejak tanggal pengusulan yaitu 10 April 2012,” terang Sirot.

Muhammad Sirot selaku tim kuasa hukum/pendamping para petani didampingi H.Mardini dari Lembaga Wakaf dan Pertanahan PBNU, mengungkapkan, permasalahan  para petani dengan PT MPM telah dimediasi oleh kementerian ATR/BPN dan diputuskan apabila PT. MPM akan memperpanjang HGUnya maka harus memberikan sebagian lahan HGUnya kepada para petani. Akan tetapi hal tersebut tidak dilakukan oleh PT MPM.

“Akan tetapi yang dilakukan oleh MPM mengambil alih lahan milik para petani,” ujar Sirot.

Ditambahkan Sirot, upaya paksa mengusir  para petani selain dengan perusakan rumah  tinggal, jalan akses ke rumah mereka ditutup dengan dinding beton dan kawat berduri, serta saluran air bersih diputus.